SeriCerita Rakyat 34 Provinsi (Sulawesi Selatan) : La Dana Dan Kerbau Tanjung Duren Jalan Tanjung Duren Barat Raya No. 36 Koleksi Tidak Tersedia Perpustakaan Jakarta Timur - Jatinegara Jalan Jatinegara Timur IV, Rawa Bunga, Jatinegara Koleksi Tidak Tersedia
Panglima To Dilaling merupakan salah satu tokoh yang populer di Sulawesi Barat. Namun, sudah tahukah kamu tentang kisah hidupnya? Kalau belum, mari simak uraian lengkap cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat dalam artikel ini!Begitu banyak cerita rakyak di Indonesia yang mengisahkan tentang kepahlawanan. Salah satunya adalah cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat. Meskipun tidak belum banyak yang tahu, tapi dongeng tersebut sebenarnya mengandung pesan moral yang sini, terdapat uraian lengkap mengenai kisah Panglima To Dilaling beserta unsur-unsur intrinsiknya. Selain itu, ada juga pembahasan fakta menarik seputar legenda tersebut yang bisa menambah Penasaran ingin mengetahui seperti apa cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat? Tanpa banyak basa-basi lagi, langsung saja simak uraian lengkapnya dalam penjelasan berikut ini, yuk! Pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaa di sebuah bukit bernama Napo di daerah Tammajarra, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Poliwali Mandar, Sulawesi Barat. Kerajaan itu dikenal dengan nama Kerajaan Balanipa yang dipimpin oleh Raja Balanipa. Raja Balanipa telah menduduki kursi kepemimpinan kerajaan selama tiga puluh tahun dan tidak mempunyai keinginan untuk turun tahta. Maka dari itu, ia sangat menjaga kesehatan tubuhnya dengan meminum jamu dan obat ramuan tabib terkenal supaya tetap panjang umur dan awet muda. Selain memimpin kerajaan, Raja Balanipa juga mempunyai hobi berburu dan berolahraga secara teratur agar kondisi tubuhnya selalu fit. Ia bersama istrinya sebenarnya dikaruniai empat orang anak, dua putra dan dua putri. Namun, karena keegoisan Raja Balanipa yang tidak mau mewariskan tahtanya kepada dua putranya, kedua anak laki-laki itu dibunuh olehnya. Permaisuri yang tengah hamil besar pun cukup was-was jika ia melahirkan anak laki-laki lagi. Alasannya, ia sudah tidak sanggup melihat nyawa putranya diambil oleh suaminya sendiri. Hampir setiap hari, sang permaisuri berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar anak yang dikandungnya adalah anak perempuan. Mendekati hari persalinannya, sang permaisuri semakin takut dan khawatir. Ia tidak bisa tidur tenang karena terus mengingat nasib anak di dalam kandungannya. Pada suatu hari, Raja Balanipa memutuskan untuk pergi berburu ke daerah Mosso. Sebelum berangkat, ia meninggalkan pesan kepada panglima perang kerajaannya yang bernama Puang Mosso. “Puang Mosso, aku akan pergi berburu ke Mosso. Tolong kau jaga permaisuriku yang sedang hamil besar. Kalau aku belum kembali dan istriku ternyata melahirkan seorang putra, kau bunuh anak laki-laki itu,” perintah Raja Balanipa. “Baik, Baginda. Apa pun perintah Baginda akan hamba laksanakan,” jawab Puang Mosso sembari memberi hormat kepada Raja Balanipa. Panglima Kerajaan yang Ingkar Janji Merasa puas dengan jawaban panglimanya, Raja Balanipa kemudian berangkat ke Mosso. Benar saja, sehari setelah kepergian raja, sang permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki yang rupawan. Namun, lidah bayi itu anehnya berwarna hitam dan berbulu. Setelah permaisuri melahirkan, anjing pengawal raja segera menjilati kain bekas persalinan supaya darahnya membekas di moncongnya. Hewan itu segera mencari tuannya yang sedang berburu di daerah Mosso. Setelah berlarian cukup lama, anjing Kerajaan Balanipa itu menemukan tuannya dan menggonggong kepadanya agar melihat darah yang ada di moncongnya. Raja Balanipa yang mendapati darah di moncong anjing pengawal kerajaan itu mengerti kalau istrinya sudah melahirkan dan memutuskan untuk segera kembali ke istana. Di istana, kebimbangan menyelimuti hati Puang Mosso setelah mengetahui kalau sang ratu melahirkan seorang anak laki-laki. Ia tidak tega membunuh bayi yang tidak bersalah itu dan berpikir keras untuk mencari cara supaya Raja Balanipa tidak murka dan bayi laki-laki itu tetap hidup. Puang Mosso kemudian menyembelih seekor kambing dan menguburkannya di samping makam anak-anak laki-laki raja. Makam itu kemudian ia pasangi nisan untuk semakin meyakinkan rajanya kalau anaknya sudah dibunuh. Setelah selesai membuat kuburan palsu, Puang Mosso lalu mengambil bayi laki-laki itu dan menitipkannya kepada keluarganya yang tinggal di sebuah kampung yang jauh dari istana. Dengan begitu, aksinya menyelamatkan bayi laki-laki Raja Balanipa tidak akan ketahuan. Makam Palsu dan Kekhawatiran Raja Balanipa Keesokan harinya, Raja Balanipa telah sampai di istana dan segera menemui Puang Mosso untuk menanyakan kabar istri dan anaknya. Dikisahkan dalam cerita rakyat Panglima To Dilaling bahwa ia menemui Puang Mosso dengan penuh rasa cemas. “Hei, Puang Mosso. Bagaimana kondisi istriku? Apakah benar ia sudah melahirkan?” tanya Raja Balanipa. “Ampun, Baginda. Permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki sehari setelah Baginda berangkat untuk berburu. Sesuai dengan perintah yang Baginda sampaikan, hamba sudah membunuh dan menguburkan bayi laki-laki itu,” jelas Puang Mosso. “Lantas, di mana kau menguburkan mayat bayi itu?” tanya sang raja. “Ampun, Baginda bila hambamu ini telah lancang. Hamba menguburkan mayat bayi itu di samping makam putra-putra Baginda terdahulu,” jawab Puang Mosso. Raja Balanipa bergegas pergi menuju ke area makam keluarga istana untuk benar-benar memastikan kalau bayi laki-laki itu sudah mati. Sesampainya di lokasi, ia menemukan kuburan kecil yang masih baru. Setelah yakin bahwa bayi laki-laki itu telah mati, Raja Balanipa pun kembali ke istana dan melaksanakan tugasnya sebagai raja dengan tenang. Ia tidak perlu lagi merasa khawatir karena pewaris tahtanya sudah tidak ada. Seiring tahun berlalu, putra Raja Balanipa yang dititipkan di kampung jauh dari istana tumbuh menjadi anak laki-laki yang sehat. Ia sudah lancar berbicara dan mengenal orang-orang di sekitarnya. Puang Mosso secara diam-diam menjenguk putra raja itu hampir setiap minggu yang membuatnya menjadi orang terdekat anak laki-laki tersebut. Karena masih was-was kalau raja mengetahui rahasianya, Puang Mosso lalu menitipkan anak laki-laki itu pada seorang pedagang yang akan berlayar jauh dari Bukit Napo, yakni ke Pulau Salemo. Nasib Putra Raja yang Tidak Diakui Di Pulau Salemo, putra Raja Balanipa diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang oleh keluarga pedagang itu. Ia menjadi anak laki-laki pekerja keras, suka menolong, dan mahir dalam memanjat pohon kelapa. Suatu hari, ketika putra Raja Balanipa tengah memanjat pohon kelapa, datanglah seekor burung rajawali raksasa yang tiba-tiba menyambarnya. Ia kemudian dibawa terbang burung tersebut ke tempat yang jauh. Ketika burung rajawali dan putra raja Balanipa sampai di daerah Gowa, anak itu terlepas dari cengkraman si burung dan terjatuh di tengah sawah. Ia ditemukan oleh seorang petani yang kebetulan tengah lewat. Petani itu pun segera melaporkan penemuan anak laki-laki tersebut kepada Raja Gowa, Tumaparissi Kalonna. “Maafkan bila kedatangan hamba yang tiba-tiba menganggu Baginda. Tapi, hamba baru saja menemukan anak laki-laki di sawah yang terlepas dari cengkraman burung rajawali raksasa,” jelas si petani. “Lalu, di mana anak itu sekarang?” tanya Raja Gowa penasaran. “Ampun Baginda, anak itu ada di rumah hamba,” jawab Pak Tani. “Kalau begitu, segera bawa anak laki-laki itu ke hadapanku! Aku ingin melihatnya!” perintah Raja Gowa. Mendengar titah dari rajanya, dikisahkan dalam cerita rakyat Panglima To Dilaling bahwa Pak Tani itu bergegas pulang ke rumahnya dan menjemput si anak laki-laki. Setelah beberapa lama berjalan, mereka akhirnya tiba di istana dan langsung menghadap Raja Gowa. Baca juga Kisah Patani Darussalam dan Ulasan Lengkapnya, Cerita Seorang Raja yang Suka Berburu Binatang Menjadi Panglima Andalan Kerajaan Gowa Setelah melihat dan mengamati penampilan sang anak, Raja Gowa menjadi tertarik dengannya. Tubuh anak laki-laki itu kekar dan berbeda dengan anak-anak seperti umumnya. Sang raja berpikir kalau ia merawat dan melatih anak tersebut, nantinya sang anak bisa tumbuh menjadi laki-laki yang gagah perkasa. “Hei, anak kecil! Siapa kamu dan dari mana asalmu?” tanya Raja Gowa setelah terdiam sebentar. “Ampun Baginda. Hamba hanyalah seorang anak dari bukit Napo yang hampir dibunuh oleh ayah kandungku sendiri,” ucap putra Raja Balanipa. Anak laki-laki itu kemudian memberikan penjelasan lebih jauh kenapa dia bisa sampai di Gowa. Mendengar cerita si anak, Raja Gowa merasa tersentuh dan terharu. Ia pun kemudian mengambil keputusan untuk merawat dan mendidik anak itu di istana. Sekian tahun berlalu, putra Raja Balanipa tumbuh menjadi seorang pemuda yang sakti dan gagah perkasa. Disampaikan dalam cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat bahwa ia ditunjuk sebagai panglima perang kerajaan tobarani oleh Raja Gowa. Semenjak ditunjuk sebagai panglima perang, pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh putra Raja Balanipa itu selalu menang dalam peperangan. Oleh sebab itu, sosoknya sering menjadi perbincangan dan disegani oleh penduduk di penjuru negeri. Atas jasa-jasanya, Raja Gowa lalu memberikan gelar I Manyambungi kepada putra Raja Balanipa. Tidak hanya di wilayah Kerajaan Gowa, nama I Manyambungi juga terdengar hingga ke kerajaan-kerajaan lainnya. Kekacauan di Wilayah Kerajaan Balanipa Berbeda dengan Kerajaan Gowa yang semakin sejahtera, keadaan Kerajaan Balanipa justru berubah menjadi kacau balau. Raja Balanipa yang merupakan ayah kandung dari I Manyambungi telah wafat dan tahta kerajaan diambil oleh Raja Lego yang terkenal akan kesaktiannya. Meskipun begitu, Raja Lego ternyata merupakan sosok pemimpin yang kejam dan bengis. Ia gemar menyiksa penduduk di wilayah kekuasaannya dan yang berada di negeri-negeri sekitar kerajaannya, seperti Samsundu, Mosso, dan Todang-Todang. Tak hanya rakyat biasa, Raja Lego juga ikut menyiksa kerabat keluarga raja terdahulu. Situasi yang tidak segera membaik itu pun membuat para raja di negeri-negeri bawahan Kerajaan Balanipa membenci Raja Lego dan merasa resah dengan keamanan keluarga serta rakyat mereka. Para pemimpin itu lantas mengadakan musyawarah untuk mencari cara menyingkirkan Raja Lego demi kebaikan bersama. Mereka khawatir kalau hanya dibiarkan saja, situasinya akan semakin memburuk. “Bagaimana kita bisa menyingkirkan Raja Lego yang sakti itu? Kita sepertinya tidak mempunyai kekuatan yang mumpuni untuk mengalahkannya,” tanya salah satu raja. “Bagaimana kalau kita meminta bantuan kepada panglima dari Kerajaan Gowa? Saya mendengar kabar bahwa pasukan yang ia pimpin tidak pernah kalah,” ujar raja yang lain. Mendengar saran dari salah satu raja tersebut, para raja itu pun sepakat untuk menemui Panglima I Manyambungi. Mereka pun mengutus beberapa perwakilan untuk pergi ke Kerajaan Gowa. Permintaan Tolong dari Utusan Kerajaan Balanipa Setibanya di sana, para utusan itu meminta orang-orang di istana Kerajaan Gowa untuk bisa bertemu dengan Panglima I Manyambungi. Setelah berjumpa dengan sang panglima, mereka tanpa basa-basi langsung mengutarakan tujuan rombongan tersebut. “Maafkan atas kedatangan kami yang tiba-tiba, Tuan. Kami adalah utusan dari kerajaan-kerajaan kecil yang ada di wilayah Polewali Mandar. Di sini, kami ingin meminta bantuan Tuan untuk mengalahkan Raja Lego,” ucapan salah satu utusan dari rombongan tersebut. “Raja Lego? Siapa dia?” tanya I Manyambungi. “Ia adalah pengganti dari Raja Balanipa, Tuan. Ia memimpin kerajaannya dengan kejam dan sering menganiaya rakyat kami yang tidak berdosa,” jelas si utusan. Setelah mendengar jawaban itu, I Manyambungi merasa terkejut karena para utusan tersebut berasal dari tempat asalnya dulu. Ia pun jadi teringat dengan ayah dan keluarga kandungnya yang diceritakan oleh Puang Mosso saat ia masih kecil. “Lalu, bagaimana nasib Raja Balanipa dan keluarganya jika Raja Lego telah menjadi pemimpin kerajaan?” tanya Panglima I Manyambungi dengan nada penasaran. “Ampun, Tuan. Raja Balanipa dan istrinya telah meninggal. Sedangkan, kerabat keluarga yang masih hidup untuk untuk sementara mengungsi ke daerah Mosso,” jelas utusan tersebut. “Kalau begitu, bagaimana dengan Panglima Puang Mosso? Apakah dia masih hidup?” tanya I Manyambungi lebih lanjut. “Panglima Puang Mosso masih hidup, Tuan. Bahkan, panglimalah yang menyelamatkan kerabat keluarga istana dari Raja Lego. Bagaimana Tuan bisa mengenal Panglima Puang Mosso?” tanya salah satu utusan dengan heran dalam cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Ikan Pesut Mahakam dan Ulasan Menariknya, Sebuah Pelajaran Bagi Orang Tua Perjumpaan dengan Puang Mosso Tanpa berpikir panjang, Panglima I Manyambungi pun menceritakan asal-usulnya kepada para utusan itu. Setelah mendengar penjelasan dari panglima Kerajaan Gowa, para utusan itu pun kaget dan segera memberikan hormat. “Maafkan atas kelancangan kami, Tuan. Kami tidak tahu kalau Tuan adalah putra dari Raja Balanipa,” ucap para utusan dengan serentak. “Tidak apa-apa. Baiklah, aku akan memberikan bantuan kepada kalian. Namun, syaratnya Panglima Puang Mossolah yang harus datang sendiri untuk menjemputku,” pinta I Manyambungi. “Baik, Tuhan. Pesan Tuan akan kami sampaikan kepada Panglima Puang Mosso. Terima kasih atas kebaikan hati, Tuan,” balas para utusan itu. Setelah selesai dengan urusan mereka, para utusan itu pamit untuk kembali ke Mandar. Sesampainya di negerinya, para utusan itu segera menemui Puang Mosso. Sang panglima yang mendengar laporan dari utusan itu pun menjadi cemas dan memutuskan untuk berlayar ke Kerajaan Gowa seorang diri. Dalam perjalanan, Puang Mosso beragam pertanyaan muncul dalam pikirannya. Mulai dari kenapa harus ia yang menjemput Panglima I Manyambungi, hingga apa yang direncanakan oleh panglima dari Kerajaan Gowa tersebut. Setelah tiba di Kerajaan Gowa, Puang Mosso tidak membuang waktu dan bergegas menemui Panglima I Manyambungi. Sesampainya di hadapan pemuda yang perkasa itu, jantung Puang Mosso semakin berdegup kencang. Berbeda dengan Puang Mosso yang gugup, Panglima I Manyambungi justru menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan senyuman yang menghiasi wajahnya. Bagi I Manyambungi, Puang Mosso bukanlah orang asing dan sudah ia anggap seperti keluarga sendiri. “Apakah Tuan benar-benar Puang Mosso?” tanya I Manyambungi. “Benar, Tuan. Saya Puang Mosso dari Kerajaan Balanipa,” jawab laki-laki itu. “Tuan, maafkan atas kelancangan saya. Tapi, maukah Tuan menjulurkan lidah sebentar,” tanya Puang Mosso balik dengan nada ragu-ragu kepada I Manyambungi. I Manyambungi yang mendengar permintaan itu pun segera menjulurkan lidahnya. Melihat lidah yang berwarna hitam dan berbulu itu, Puang Mosso bisa memastikan bahwa pemuda di hadapannya adalah putra dari Raja Balanipa. Ia pun tanpa sadar segera memeluk I Manyambungi. “Kau benar-benar putra Raja Balanipa yang aku selamatkan dulu,” ujar Puang Mosso. “Benar, Puang Mosso. Terima kasih telah menyelamatkan nyawaku dan merawatku semasa kecil,” jawab I Manyambungi dalam cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat sembari membalas pelukan Puang Mosso. Setelah melepaskan kerinduan mereka, Puang Mosso pun segera mengajak I Manyambungi untuk ke Kerajaan Balanipa. I Manyambungi pun menyetujui ajakan Puang Mosso dan mengumpulkan beberapa anak buah kepercayaannya. “Sebaiknya kita kembali ke Kerajaan Balanipa di tengah malam. Aku khawatir kalau kita berangkat keesokan paginya, Raja Gowa tidak akan mengizinkanku pergi,” ujar I Manyambungi. Penyerangan kepada Raja Lego Pada tengah malam, rombongan Puang Mosso dan I Manyambungi bersama beberapa pengikutnya pun meninggalkan istana Kerajaan Gowa. Setelah beberapa hari berlayar, kapal rombongan itu melabuh ke Pelabuhan Tangnga-Tangnga. Semua peralatan perang yang telah dibawa dari Kerajaan Gowa pun diturunkan dari kapal dan dipindahkan ke Bukit Napo. Selama Panglima I Manyambungi menetap di area itu, ia dikenal sebagai Panglima To Dilaling. Sementara itu, Raja Lego yang menduduki tahta Kerajaan Balanipa semakin hari semakin bersikap kejam kepada penduduk yang lemah dan tidak berdosa. Ia bertindak egois dan memaksa bawahannya untuk memenuhi segala permintaannya. Rakyat yang hidupnya sudah kesusahan pun semakin menderita. Kebencian mereka terhadap Raja Lego yang telah semena-mena menindas mereka pun sudah tak terbendung. Oleh sebab itu, saat Panglima To Dilaling mengajak rakyat untuk melawan Raja Lego, mereka menyambutnya dengan penuh semangat. Panglima To Dilaling beserta para pemimpin negeri-negeri lainnya pun merencanakan waktu penyerangan Raja Lego. Setelah rakyat dan semua peralatan perang siap, mereka pun melancarkan penyerangan pada hari yang telah ditentukan. Pertempuran sengit antara Panglima To Dilaling dan Raja Lego pun tidak bisa dihindari. Mulanya, pasukan Raja Lego dapat memberikan perlawanan, tapi lama-kelamaan mereka juga kewalahan karena jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan pasukan Panglima To Dilaling. Karena sudah terdesak, pasukan Raja Lego pun menyerah dan mengakui kekalahan mereka. Sementara itu, Raja Lego yang dihadapi langsung oleh Panglima To Dilaling masih memberikan perlawanan sampai akhirnya ia mati di ujung badik badik sang panglima. Mendengar kabar kematian Raja Lego, seluruh rakyat di Kerajaan Balanipa pun bersorak gembira karena bisa bebas dari ancaman raja yang bengis dan kejam. Kemenangan itu pun semakin menguatkan posisi kedudukan Panglima To Dilaling. Panglima To Dilaling kemudian menghadap pada Raja Gowa untuk menjadi raja Kerajaan Balanipa. Selama masa kepemimpinannya, situasi Kerajaan Balanipa menjadi sejahtera dan aman sentosa. Begitulah akhir dari cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat. Baca juga Cerita Rakyat Batu Kuwung dari Banten yang Sarat Pesan Moral Beserta Ulasan Lengkapnya Unsur Intrinsik Legenda Panglima To Dilaling Sumber Wikimedia Commons – Peta Sulawesi Barat Nah, kamu telah mengetahui kisah lengkap Panglima To Dilaling dari penjelasan di atas. Kali ini, saatnya kamu menyimak ulasan tentang apa saja unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam legenda tersebut 1. Tema Tema dari cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat adalah tentang kepahlawanan. Kisah di atas menceritakan perjuangan seorang anak laki-laki yang mulanya hampir dibunuh oleh ayah kandungnya sendiri dan akhirnya bisa tumbuh menjadi panglima kerajaan yang disegani. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada beberapa tokoh yang memiliki peran penting dari mitos di Sulawesi Barat di atas. Beberapa di antaranya adalah Raja Balanipa, Puang Mosso, Raja Gowa, Panglima To Dilaling, dan Raja Lego. Raja Balanipa dijelaskan sebagai raja yang serakah karena tidak ingin mewariskan tahtanya kepada putra laki-lakinya. Sementara itu, Puang Mosso merupakan karakter yang bersikap berdasarkan moral yang ia percaya. Raja Gowa sendiri digambarkan sebagai tokoh yang peduli dan memiliki bakat untuk melihat potensi seseorang. Ia dengan sabar merawat dan melatih Panglima To Dilaling menjadi pemuda yang ahli berperan dan gagah perkasa. Meskipun ketika lahir akan dibunuh oleh ayahnya sendiri, Panglima To Dilaling tumbuh menjadi pemimpin yang bijaksana, ahli perang, dan suka menolong. Sementara itu, Raja Lego merupakan tokoh antagonis yang mempunyai watak egois, tidak bisa bersikap bijaksana, dan suka menindas orang-orang yang lebih lemah. 3. Latar Tempat kejadian atau latar cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat terdiri dari banyak lokasi. Sebut saja istana Kerajaan Balanipa, Pulau Salemo, sawah, istana Kerajaan Gowa, Pelabuhan Tangnga-Tangnga, dan Bukit Napo. 4. Alur Alur dari kisah Panglima To Dilaling termasuk dalam jenis alur progresif atau maju. Awal legenda dimulai dengan perkenalan Raja Balanipa yang ingin membunuh putra ketiganya sebelum akhirnya diselamatkan oleh Puang Mosso. Konflik muncul ketika Raja Lego pengganti Raja Balanipa membuat situasi Kerajaan Balanipa menjadi kacau balau. Lalu, putra ketiga Raja Balanipa yang tumbuh menjadi panglima disegani di Kerajaan Gowa dengan nama I Manyambungi dimintai bantuan oleh para raja yang memimpin negeri-negeri kecil di bawah kekuasaan Kerajaan Balanipa. Perperangan antara I Manyambungi yang kemudian dikenal sebagai Panglima To Dilaling dengan Raja Lego pun terjadi. Pada akhirnya, Raja Lego berhasil dikalahkan dan Panglima To Dilaling pun diangkat sebagai Raja Balanipa yang baru. 5. Pesan Moral Ada beberapa pesan moral yang bisa kamu ambil dari cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat. Pertama, sebagai seorang pemimpin, sebaiknya kamu menyisihkan ego, bersikap bijak, dan tidak mementingkan kepentingan diri sendiri. Kedua, kebaikan yang kamu lakukan akan melahirkan kebaikan-kebaikan lain yang tidak terduga. Merujuk dari kisah di atas, Puang Mosso yang menyelamatkan Panglima To Dilaling dari ayah kandungnya pada akhirnya juga diselamatkan nasibnya dari ancaman kekejaman Raja Lego. Terakhir, dari dongeng Panglima To Dilaling kamu dapat belajar bahwa nasib seseorang bisa diubah selama ia masih mau berusaha. To Dilaling tumbuh menjadi pemimpin yang bijaksana, ahli berperang, dan disegani oleh banyak orang walaupun saat lahir ia akan dibunuh. Selain unsur-unsur intrinsik, masih ada unsur ektrinsik yang terkandung dalam legenda Panglima To Dilaling. Sebut saja nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat, seperti nilai moral, budaya, dan sosial. Baca juga Cerita Rakyat Nenek Luhu dan Ulasan Lengkapnya, Dongeng Terjadinya Laguna Air Putri di Maluku Fakta Menarik Jika sebelumnya kamu telah menyimak tentang cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat dan unsur-unsur intrinsiknya, rasanya kurang lengkap kalau tidak sekalian membahas fakta-fakta menariknya. Yuk, simak ulasannya di bawah ini! 1. Ada Versi Lain Kisah Panglima To Dilaling cukup populer di daerah Sulawesi Barat dan mempunyai beragam versi. Ada yang menyatakan bahwa I Manyambungi memang aslinya berasal dari Kerajaan Gowa dan diutus untuk mempertahankan wilayah Appeq Banua Kayyang yang nantinya dikenal sebagai Kerajaan Balanipa. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa I Manyambungi adalah anggota elit pasukan Kerajaan Gowa, bukan seorang panglima. Meskipun terdiri dari beberapa versi, tapi kepahlawanan masih menjadi tema yang ingin disampaikan kepada para pembaca melalui cerita rakyat dari Polewali Mandar tersebut. 2. Raja Pertama Kerajaan Balanipa Menurut catatan sejarah, I Manyambungi Todilaling sebenarnya merupakan raja pertama dari Kerajaan Balanipa. Ia yang membuat dasar-dasar pemerintahan kerajaan dengan menyeimbangkan kekuasaan antara raja dan dewan adat sebagai perwakilan dari masyarakat. Salah satu kebijakan I Manyambungi Todilaling yang paling dikenal adalah dengan mengubah peraturan pewaris tahta. Bila kebanyakan kerajaan menggunakan garis keturunan, laki-laki ini menetapkan aturan bahwa calon raja haruslah seseorang yang mencintai rakyatnya, mempunyai kemampuan untuk memerintah kerajaan, dan berbudi luhur. Dalam cerita rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat, tidak dijelaskan bagaimana ia meninggal. Namun, keberadaan makam sang panglima sendiri masih ada sampai sekarang dan dilindungi oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Polewali Mandar. Baca juga Kisah Asal Usul Kota Malang Beserta Ulasan Menariknya yang Wajib Kamu Tahu! Cerita Rakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat sebagai Dongeng Tidur Demikian uraian kisah Panglima Todilaling beserta unsur intrinsik dan fakta menariknya yang bisa kami rangkum. Semoga saja kamu dapat mengambil pesan bijak dari cerita tersebut dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya artikel ini, kamu masih bisa menjumpai dongeng-dongeng tak kalah bagus lainnya di PosKata. Beberapa di antaranya adalah cerita Abu Nawas merayu Tuhan, fabel Kancil dan Merak yang Sombong, serta kisah Nabi Daud. Selamat membaca! PenulisAulia DianPenulis yang suka membahas makeup dan entertainment. Lulusan Sastra Inggris dari Universitas Brawijaya ini sedang berusaha mewujudkan mimpi untuk bisa menguasai lebih dari tiga bahasa. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
NusaTenggara Timur (disingkat NTT) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang meliputi bagian timur Kepulauan Nusa Tenggara.Provinsi ini memiliki ibu kota di Kota Kupang dan memiliki 22 kabupaten/kota. Provinsi ini berada di Sunda Kecil. Tahun 2020, penduduk provinsi ini berjumlah 5.325.566 jiwa, dengan kepadatan 111 jiwa/km 2.. Setelah pemekaran, Nusa Tenggara Timur adalah sebuah provinsiCERITA RAKYAT Asal-Muasal Ikan Tuing-Tuing Rabu, 02 Desember 2020 2207 PADA suatu masa, di Mandar, Sulawesi Barat, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Namanya Arung Paria. Raja Arung mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Mereka hanya disapa Putra Raja dan Putri Raja saja karena menyebut nama anak raja di masa itu sesuatu yang tabu. Kerajaan Arung Paria sangat kaya dan.... Selengkapnya... CERITA RAKYAT Si Cantik Samba Paria dari Tanah Mandar Kamis, 06 Agustus 2020 1320 Pada zaman dahulu di pesisir Mandar, berdiri sebuah kerajaan yang kaya raya karena hasil bumi yang melimpah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang zalim dan sewenang-wenang. Sehingga kekayaan alam tersebut hanya melimpah kepadanya serta kerabat sang raja. Sementara masyarakatnya makin hari semakin terpuruk karena hidup miskin. Mereka tak bisa menikmati hasil buminya lantaran didera.... Selengkapnya... CERITA RAKYAT Paummisang, Kakek Pemakan Tebu dari Tinambung Sabtu, 25 Juli 2020 1653 PADA zaman dahulu di daerah Tinambung Mandar, Sulawesi Barat, hidup seorang kakek sebatang kara di sebuah rumah sederhana di tengah-tengah kebunnya. Saban hari si kakek menghabiskan waktu untuk menanam sayur-sayuran, umbi-umbian, jagung, tebu, dan kelapa. Karena keuletan dan ketelitian dalam merawat tanamannya, sehingga hasilnya pun cukup melimpah. Kakek itu memiliki hobby yang aneh. Hampir tiap hari.... Selengkapnya... To Dilaling, Anak Raja yang Terbuang Senin, 13 Juli 2020 1710 DI BUKIT Napo, Sulawesi Barat berdiri sebuah kerajaan yang sangat makmur. Namanya Kerajaan Balanipa. Kerajaan Balanipa ini berada di daerah yang subur. Hasil kekayaan alamnya melimpah dan dapat menambah penghasilan rakyatnya. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang yang yang sangat bijaksana dan adil. Kekayaan alam yang diperoleh dibagikan dengan rata, sehingga rakyat pun hidup makmur. Namun di.... Selengkapnya... Legenda I Karake Lette Hadapi Kerajaan Gowa Kamis, 02 Juli 2020 1433 DAHULU kala Kerajaan Balanipa, Mandar, Sulawesi Barat tengah dilanda petaka. Kerajaan ini diserang oleh Kerajaan Gowa dengan jumlah pasukan yang besar. Sementara Balanipa hanya memiliki sedikit pasukan. Kala itu Balanipa hanyalah kerajaan kecil yang selama ini hidup dengan damai. Raja Mara’dia Balanipa lantas memutuskan melakukan sayembara agar para pemuda bersedia menjadi prajurit. Kelak jika menang, mereka.... Selengkapnya... Namun ada versi lain yang diceritakan dalam sebuah cerita rakyat terkait dengan asal-mula tari Patuddu. Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah pegunungan di Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat), hidup seorang Anak Raja bersama hambanya. Suatu waktu, Anak Raja itu ditimpa sebuah musibah. Bunga-bunga dan buah-buahan di tamannya hilang Kalau bicara tentang cerita rakyat Sulawesi Selatan, ada cukup banyak cerita rakyat yang bisa kita pelajari dan mengandung pesan moral… Lanjutkan Membaca → Kalau bicara tentang cerita rakyat Sulawesi Selatan, cukup banyak cerita rakyat dari provinsi ini dan kesemuanya memiliki sisi moral yang… Lanjutkan Membaca → Legenda batu bagga ini memang sangat mirip dengan salah satu cerita rakyat yang berasal dari Sumatera Barat. Hmm kakak tidak… Lanjutkan Membaca → Kami sudah cukup banyak memposting Cerita Rakyat Cerpen dari Sulawesi Utara. Papa dan Mama bisa menggunakan menu pencarian jika ingin… Lanjutkan Membaca → Cerita rakyat Sulawesi Selatan yang akan kakak ceritakan di hari libur ini jangan sampai terlewatkan. Ceritanya sangat seru mengenai kisah… Lanjutkan Membaca → Hawadiyah ialah seorang gadis yatim miskin yang hidup di sebuah desa di kawasan Mandar, Sulawesi Barat. Pada suatu waktu, seorang… Lanjutkan Membaca → Kisah Putri Tandampalik adalah contoh cerita rakyat singkat yang akan kami ceritakan malam hari ini. Kisah ini mengajarkan kita untuk… Lanjutkan Membaca → Kisah Panglima To Dilating merupakan cerita rakyat nusantara yang berasal dari Sulawesi. Cerita rakyat Indonesia ini pernah Kakak posting dengan… Lanjutkan Membaca → Cerita Rakyat Sulawesi Utara Ratu Adioa Suatu hari Ratu Wulanwanna menantang keberanian empat sahabatnya untuk membunuh orang tua mereka,… Lanjutkan Membaca → Kemenangan Sebuah Kejujuran sangat terlihat pada Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara ini. Siapapun orang yang jujur maka pada akhirnya Tuhan… Lanjutkan Membaca → Kebaikan hati La Sirimbone pada Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara membawa dia kepada keberuntungan. Orang yang baik hati akan disayangi oleh… Lanjutkan Membaca → Penyesalan seorang ibu pada Cerita Rakyat Sulawesi Tengah Legenda Putri Duyung menjadi hal yang sangat mengharukan. Amanat moral dari… Lanjutkan Membaca → Cerita Rakyat Sulawesi Utara yang paling dikenal dimasyarakat adalah Kisah Burung Kekekow. Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara ini mengajarkan kita… Lanjutkan Membaca → Posting kali ini merupakan lanjutan dari posting sebelumnya yaitu Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi yang cocok digunakan sebagai cerita… Lanjutkan Membaca → Blog sebagian besar berisi kumpulan dongeng cerita rakyat yang berasal dari nusantara. Lanjutkan Membaca → Definisi / Pengertian cerita rakyat Kisah Rakyat / Legenda Kisah Rakyat / Legenda / Cerita rakyat adalah cerita atau… Lanjutkan Membaca →
KisahAmbo Upe dan Burung Elang, Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan, Ajarkan Anak untuk Tidak Mencuri. Ardillah Kurais - 10 Februari 2022, 21:04 WIB Bandung - Jawa Barat, 40111, Ph. 022-4241600 Email: prmnnewsroom@ Kami. Redaksi. Pedoman Pemberitaan. Info Iklan. Kontak
detikSulselRabu, 14 Jun 2023 0800 WIB Tragis Siswi SMA Dibunuh Sopir Pikap-Mayatnya Ditemukan Terapung Siswi SMA bernama Hetmi 16 tewas mengapung di Muara Pantai, Mamuju, Sulawesi Barat Sulbar setelah dibunuh sopir pikap bernama Hasbullah alias Gepal. detikSulselSelasa, 13 Jun 2023 2245 WIB Sopir Pikap Mamuju Pembunuh Siswi SMA Ngaku Cekik Korban hingga Tewas Sopir pikap bernama Hasbullah alias Gepal mengaku membunuh pacarnya, Hetmi 16 lalu mayatnya dibuang di Muara Pantai Mamuju, Sulawesi Barat Sulbar. detikSulselSelasa, 13 Jun 2023 1954 WIB Tampang Sopir Pikap Pembunuh Siswi SMA Mayatnya Ditemukan Terapung di Mamuju Polisi menangkap Hasbullah, pria yang tega membunuh pacarnya, Hetmi 16 lalu mayatnya dibuang di Muara Pantai Mamuju, Sulawesi Barat Sulbar. detikNewsSelasa, 13 Jun 2023 1555 WIB Siswi SMA Tewas Terapung di Mamuju Ternyata Dibunuh Pacar Sopir Pikap Polisi menangkap seorang sopir pikap bernama Gepal yang diduga membunuh siswi SMA H 16 yang mayatnya ditemukan terapung di Muara Pantai. detikSulselSelasa, 13 Jun 2023 1231 WIB Siswi SMA Mayatnya Terapung di Mamuju Terakhir Ikut dengan Sopir Pikap Siswi SMA bernama Hetmi 16 diduga menjadi korban pelecahan seksual hingga pembunuhan sebelum mayatnya dibuang di Muara Pantai Mamuju, Sulawesi Barat Sulbar. detikSulselSelasa, 13 Jun 2023 1015 WIB Mayat Terapung di Muara Pantai Mamuju Ternyata Siswi SMA, Diduga Dibunuh Polisi mengungkap identitas mayat wanita yang ditemukan terapung di muara Pantai Mamuju, Sulawesi Barat Sulbar. detikSulselSenin, 12 Jun 2023 1341 WIB Geger Mayat Wanita Tanpa Identitas Ditemukan Terapung di Muara Pantai Mamuju Warga di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Sulbar dibuat geger dengan temuan mayat wanita tanpa identitas mengapung di muara pantai. detikSulselKamis, 08 Jun 2023 1930 WIB 2 Kurir Sabu di Mamuju Ditangkap, 1 Pelaku Mahasiswa 2 pria berinisial SY 24 dan AD 35 di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Sulbar ditangkap atas kasus penyalahgunaan narkoba jenis sabu. detikSulselSenin, 05 Jun 2023 0602 WIB Biadab Tukang Ojek di Polman Perkosa ABG 16 Tahun Lalu Ditinggal di Masjid Tukang ojek berinisial MU 21 di Kabupaten Polewali Mandar Polman, Sulawesi Barat Sulbar memperkosa gadis ABG berusia 16 tahun berkali-kali. detikSulselSabtu, 03 Jun 2023 2030 WIB Melihat Ritual Massorong Lopi, Tradisi Warga Polman sebagai Wujud Rasa Syukur Warga Kabupaten Polewali Mandar memiliki sebuah ritual unik bernama Massorong Lopi sebagai wujud syukur masyarakat usai dibangun jembatan di wilayah tersebut.
Buku berjudul Asal Mula Putri Duyung Mandar Sulawesi Barat: I Cicci, I Kaco, Anna Kanne Pakande Ate ini bercerita tentang ibunda dari I Cicci dan I Kaco, seorang perempuan yang dianggap berbuat kesalahan oleh suaminya.. Tubuh ibu itu yang dibuang di laut kemudian berubah menjadi ikan duyung. Meski harus berpisah dari kedua anaknya dan menjalani penderitaan yang demikian
Hawadiyah ialah seorang gadis yatim miskin yang hidup di sebuah desa di kawasan Mandar, Sulawesi Barat. Pada suatu waktu, seorang Mara`dia Raja Jawa datang melamarnya dan mengajaknya untuk menikah di Pulau Jawa. Namun, niat baik Mara`dia Jawa itu dihalang-halangi oleh seorang gadis bernama Bekkandari. Mengapa Bekkandari menghalang-halangi pernikahan Hawadiyah dengan Mara`dia Jawa? Kemudian, apa yang dilakukan Bekkandari untuk menghalangi pernikahan mereka? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Hawadiyah berikut ini. Diceritakan, pada zaman dahulu kala, hiduplah dua orang gadis yang tinggal di sebuah desa di kawasan Mandar. Gadis yang pertama bernama Bekkandari, sedangkan gadis yang kedua bernama Hawadiyah. Kedua gadis tersebut memiliki perbedaan yang sangat mencolok, terutama dari segi banyaknya harta. Bekkandari berasal dari keluarga yang sangat kaya. Ayahnya memiliki perkebunan kelapa yang luas dan usaha pembuatan minyak goreng. Sementara Hawadiyah seorang gadis yatim yang berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk reyot di ujung desa. Untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari, Hawadiyah bersama ibunya membantu usaha keluarga Bekkandari. Cerita Rakyat Nusantara Sulawesi Barat Hawadiah Pada suatu hari, Bekkandari bersama ayahnya sedang panen kelapa di kebunnya. Hawadiyah dan ibunya pun turut membantu mengumpulkan buah kelapa yang baru dipetik dari pohonnya. Setelah setengah hari bekerja, mereka pun selesai mengumpulkan ratusan butir kelapa. Sebelum Hawadiyah dan ibunya pulang, ayah Bekkandari memberi mereka lima butir kelapa sebagai upah. Sesampai di rumah, ibu Hawadiyah memarut dan memasak kelima butir kelapa tersebut untuk diambil minyaknya. Rencananya, ia akan menitipkan minyak kelapa itu kepada ayah Bekkandari untuk dijual ke Pulau Jawa. Pada suatu hari, terdengarlah kabar bahwa ayah Bekkandari akan segera berangkat ke Pulau Jawa. Mendengar kabar itu, beramai-ramailah penduduk menitipkan minyak kelapanya kepada juragan minyak itu untuk dijual kepada Mara`dia Jawa. Tidak ketinggalan pula ibu Hawadiyah, ia menitipkan minyak kelapanya yang disimpan dalam sebuah wadah bambu. Sebelum mengantar minyak kelapanya kepada ayah Bekkandari, terlebih dahulu ia membaca sebaris mantra lalu meniupkannya ke dalam bambu, dengan harapan Mara`dia Jawa akan tertarik dan jatuh hati kepada anaknya ketika melihat dan mencium bau minyak tersebut. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ayah Bekkandari bersama beberapa orang pekerjanya menuju ke Pulau Jawa dengan menaiki kapal pribadinya. Sudah lima hari lima malam mereka terombang ambing di tengah laut, namun tak kunjung sampai ke tujuan. Padahal, perjalanan dari Teluk Mandar menuju Pulau Jawa biasanya hanya ditempuh selama tiga hari tiga malam. Hal itulah yang membuat juragan minyak kelapa itu menjadi panik dan bingung. ”Hei Nahkoda! Kenapa kita belum juga sampai di Pulau Jawa? Bukankah kita sudah lima hari lima malam di tengah lautan?” tanya ayah Bekkandari dengan perasaan cemas. “Maaf, Tuan! Saya juga tidak tahu apa gerangan penyebabnya. Padahal kecepatan kapal ini berada di atas rata-rata,” jawab nahkoda kapal itu. Mendengar jawaban itu, ayah Bekkandari terdiam sejenak. Ia bingung memikirkan penyebab keterlambatan kapalnya tiba di Pulau Jawa. Beberapa saat kemudian, ia pun teringat dengan sesuatu hal. Rupanya, ia lupa membawa minyak titipan ibu Hawadiyah. ”Mmm… jangan-jangan inilah penyebab keterlambatan perjalananku ke Pulau Jawa,” pikirnya dalam hati. Setelah benar-benar yakin bahwa hal itulah yang menjadi penyebabnya, ia segera memerintahkan kepada nahkodanya agar memutar haluan arah kapal. ”Nahkoda! Putar haluan arah kapal ini. Kita harus kembali ke Tana Mandar,” ujar si juragan kaya itu. ”Kenapa begitu, Tuan? Bukankah sebentar lagi kita akan sampai Pulau Jawa?” tanya nahkoda kapal bingung. ”Tidak mungkin! Kita tidak mungkin sampai di Pulau Jawa sebelum mengambil minyak titipan ibu Hawadiyah,” jawab juragan minyak itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dengan diselimuti tanda tanya, si nahkoda kapal pun segera memutar balik haluan kapal menuju Teluk Mandar. Setelah menempuh perjalanan selama lima hari lima malam, akhirnya mereka pun tiba di Teluk Mandar. Ayah Bekkandari segera mengambil minyak titipan ibu Hawadiyah yang tertinggal di rumahnya, lalu kembali berlayar menuju ke Pulau Jawa. Alangkah terkejutnya juragan kaya itu beserta anak buahnya, karena hanya dalam waktu dua hari dua malam, mereka sudah sampai di Pulau Jawa. Setibanya di Pulau Jawa, ayah Bekkandari langsung membawa semua minyak kelapanya ke kediaman Mara`dia Jawa. Alangkah senang hati Mara`dia Jawa, karena ayah Bekkandari membawakannya banyak minyak kelapa untuk ia jual kembali kepada padagang dari luar negeri. Begitu pula ayah Bekkandari, ia merasa senang sekali, karena semua minyak kelapanya habis terjual. Setelah membeli segala kebutuhannya, ia bersama rombongannya segera kembali ke Tana Mandar. Di tengah perjalanan, ayah Bekkandari kembali dikejutkan oleh kejadian aneh. Sudah empat hari empat malam mereka menempuh perjalanan, namun kapal yang mereka tumpangi belum juga sampai di Teluk Mandar. Melihat keadaan itu, ayah Bekkandari langsung teringat pada minyak kelapa milik ibu Hawadiyah. Ia pun segera memeriksa ruangan tempat penyimpanan barang di kapalnya. Alangkah terkejut ketika ia melihat minyak kelapa itu masih ada di tempatnya. Rupanya, ia lupa menjualnya kepada Mara`dia Jawa. Akhirnya, ia pun segera memerintahkan nahkodanya untuk kembali ke Pulau Jawa. Setelah menjual minyak kelapa tersebut, hanya dalam waktu dua hari dua malam, ia bersama rombongannya sudah tiba di Tana Mandar, Sulawesi Barat. Sementara itu, Mara`dia Jawa sedang asyik mengamati sebuah wadah bambu berisi minyak kelapa yang diberikan terakhir oleh ayah Bekkandari. Alangkah terkejutnya Mara`dia Jawa itu setelah membuka tutup wadah minyak kelapa itu. Tiba-tiba ia melihat wajah seorang gadis cantik yang memantul dari permukaan minyak. Wajah cantik itu tidak lain adalah wajah si gadis miskin, Hawadiyah. ”Hei… bukankah gadis ini yang sering hadir dalam mimpiku?” tanya Mara`dia Jawa dalam hati. Kali ini, Mara`adia Jawa benar-benar yakin dengan keberadaan gadis yang sering hadir di dalam mimpinya itu. Ia pun berniat untuk pergi mencarinya ke Tana Mandar. Dua minggu kemudian, ketika ayah Bekkandari datang mengantarkan minyak kelapa kepadanya, ia pun ikut serta bersama ayah Bekkandari yang akan pulang ke Tana Mandar. Selama dalam perjalanan, ia selalu berharap agar dapat menemukan gadis impiannya itu. Setibanya di Mandar, Mara`dia Jawa tinggal di rumah keluarga Bekkandari untuk beberapa hari lamanya. Sejak pertama datang, penguasa tanah Jawa itu senantiasa mendapat jamuan istimewa dari keluarga Bekkandari. Berbagai macam makanan dan minuman khas Mandar dihidangkan. Rupanya, putri si juragan minyak yang bernama Bekkandari, diam-diam jatuh hati kepadanya. Ia seringkali mencari-cari perhatian, agar Mara`dia Jawa itu suka kepadanya. Mara`dia Jawa pun sebenarnya tahu maksud gelagat Bekkandari, akan tetapi ia merasa bahwa bukan dialah gadis yang ia inginkan. Pada suatu pagi, ketika Mara`dia Jawa bersama ayah Bekkandari sedang duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati kopi panas dan pisang goreng hangat, tiba-tiba seorang gadis lewat di depan rumah itu. Ia pun langsung terperangah melihat gadis itu. ”Hei, siapa gadis itu? Sepertinya aku pernah melihatnya,” tanya Mara`dia Jawa kepada ayah Bekkandari. ”Maksud Tuan gadis yang baru lewat itu?” ayah Bekkandari balik bertanya. ”Iya, Pak!” jawab Mara`dia Jawa singkat. ”Gadis itu bernama Hawadiyah. Ia seorang yatim dan miskin. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah panggung yang hampir roboh di ujung desa ini,” jelas ayah Bekkandari. ”Mereka adalah buruh di kebun kelapaku,” tambah ayah Bekkandari dengan nada sombong. Mara`dia Jawa hanya tersenyum mendengar penjelasan juragan minyak kelapa itu. Ketika hari menjelang siang, Mara`dia itu hendak menemui gadis itu. Saat ia berada di ujung desa, tampaklah sebuah rumah panggung yang sudah tua. Atapnya yang terbuat dari daun rumbia sudah bocor. Dindingnya yang terbuat dari gedek pun banyak yang berlubang-lubang. Dengan perasaan ragu-ragu, ia pun mengetuk pintu rumah itu. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis cantik membuka pintu. Ia seakan-akan tidak percaya bahwa gadis yang berdiri di hadapannya sama persis dengan gadis yang selalu hadir di dalam mimpinya. ”Tidak salah lagi, inilah gadis yang sering menemuiku di dalam mimpi,” kata Mara`dia Jawa dalam hati dengan perasaan senang, karena telah menemukan gadis impiannya. Pada saat itu pula Mara`dia Jawa pun langsung meminang Hawadiyah dan berniat untuk membawanya pulang ke Pulau Jawa. Ia berencana akan melangsungkan pesta pernikahannya di Pulau Jawa dengan penuh kemeriahan. Mendengar kabar itu, Bekkandari menjadi iri hati dan dendam kepada Hawadiyah. Ia pun segera mencari cara untuk menggagalkan pernikahan mereka. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menemukan caranya, yakni mencelakai Hawadiyah. ”Maaf, Tuan! Bolehkah hamba ikut bersama kalian ke Pulau Jawa? Hamba ingin menyaksikan pesta pernikahan kalian,” pinta Bekkandari kepada Mara`dia Jawa. ”Dengan senang hati,” jawab Mara`dia Jawa sambil mengangguk-anggukan kepala. Keesokan harinya, berangkatlah mereka menuju ke Pulau Jawa dengan menumpang kapal milik ayah Bekkandari. Di tengah perjalanan, Bekkandari menyuruh beberapa orang anak buah ayahnya untuk menculik Hawadiyah. Setelah menyekap gadis miskin itu di sebuah ruang tersembunyi, Bekkandari segera mengambil tadzu[1] dan menyiramkannya ke wajah Hawadiyah. Sungguh malang nasib gadis miskin itu. Wajahnya yang semula halus dan lembut tiba-tiba berubah menjadi kasar dan keras. Setelah itu, Bekkandari melepaskan Hawadiyah untuk menemui calon suaminya. Hawadiyah pun tidak berani menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya, karena Bekkandari mengancam akan membunuhnya. Alangkah terkejutnya Mara`dia Jawa ketika melihat wajah calon permaisurinya. ”Hei… apa yang terjadi denganmu? Kenapa wajahmu rusak begitu?” tanya Mara`dia Jawa penasaran. ”Maafkan Dinda, Kanda! Dinda terlalu ceroboh. Ketika berkeliling-keliling di kapal ini, tiba-tiba Dinda ketumpahan tadzu,” jawab Hawadiyah yang harus berbohong kepada calon suaminya. Mendengar jawaban itu, Mara`dia Jawa tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menerima kenyataan pahit itu. Namun ketika mereka sampai di Pulau Jawa, rupanya ibu Mara`dia Jawa tidak sudi menerima Hawadiyah sebagai menantunya. Akhirnya, Hawadiyah pun diasingkan ke sebuah tempat untuk dijadikan penjaga sawah Mara`dia Jawa. Sementara, Bekkandari dipilih menjadi permaisuri Mara`dia Jawa. Pada suatu hari, beberapa orang pengawal Mara`adia Jawa mengantarkan makanan untuk Hawadiyah. Alangkah terkejutnya para pengawal itu ketika ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk di rumah-rumah sawah. ”Hei, kamu siapa? Ke mana si gadis buruk rupa itu?” tanya salah seorang pengawal. ”Maaf, Tuan! Akulah Hawadiyah, si gadis buruk rupa itu,” jawab Hawadiyah sambil tersenyum. Mendengar jawaban itu, para pengawal Mara`dia Jawa tersebut tersentak kaget. Mereka seakan-akan tidak percaya jika gadis yang di hadapan mereka adalah Hawadiyah. ”Bagaimana kamu bisa berubah menjadi cantik seperti itu?” seorang pengawal kembali bertanya kepada Hawadiyah. Hawadiyah pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya, bahwa dia bisa kembali menjadi cantik setelah berkali-kali mandi di sungai atas perintah seekor burung kakaktua. Kemudian ia juga menceritakan semua peristiwa yang menyebabkan wajahnya menjadi jelek. Maka sejak itu, perilaku buruk Bekkandari terbongkar. Setelah mendengar cerita Hawadiyah, para pengawal tersebut segera melapor kepada Mara`dia Jawa. Semula, Mara`dia Jawa tidak percaya dengan laporan para pengawalnya itu. Namun, karena penasaran, akhirnya ia pun bergegas menuju ke sawah. Sesampainya di sawah, ia tersentak kaget ketika melihat wajah Hawadiyah kembali menjadi cantik seperti semula. Ia pun langsung memeluk gadis yang dicintainya itu dengan erat. ”Maafkan Kanda, Dinda! Kanda sudah mengetahui semuanya. Ternyata selama ini Kanda dibohongi oleh Bekkandari,” ucap Mara`dia Jawa. Akhirnya, Mara`dia Jawa mengajak Hawadiyah kembali ke istana untuk melangsungkan pernikahan mereka. Sesampai di istana, ia pun langsung mengusir Bekkandari kembali ke desa halamannya, di Tana Mandar. Sejak itu pula, Mara`dia Jawa memutuskan hubungan dagang dengan ayah Bekkandari. Pesta pernikahan Mara`dia Jawa dengan Hawadiyah dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan ditampilkan dalam acara tersebut. Undangan yang datang dari berbagai negeri turut berbahagia menyaksikan kedua mempelai. Sejak itu, Hawadiyah hidup bahagia bersama suaminya dan seluruh keluarga istana Kerajaan Jawa. Demikian cerita Mara`dia Jawa dari kawasan Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah akibat buruk dari sifat dengki dan iri hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Bekkandari yang telah menyiramkan tadzu ke wajah Hawadiyah, agar dialah yang akan dipilih menjadi permaisuri Mara`dia Jawa. Akibatnya, ia pun diusir dari istana Kerajaan Jawa setelah semua perbuatannya diketahui oleh Mara`dia Jawa. Dikatakan dalam tunjuk Ajar Melayu kalau suka dengki mendengki, orang muak Tuhan pun benci Pelajaran lain yang dapat dipetik dari Cerita Rakyat Nusantara Sulawesi Barat di atas adalah bahwa sifat dengki dan iri hati dapat membutakan hati seseorang. Jika hati sudah buta, seseorang dapat melakukan penganiayaan kepada orang lain. aca juga Dongeng Cerita Anak Yang Mendidik dari Sulawesi Tengah dan posting terbaik lainya yaitu Cerita Dongeng Indonesia Pendek dari Sulawesi Utara
. 312 403 263 163 151 372 410 381